BAB II
PEMBAHASAN
TEORI BELAJAR
A. Pengertian Belajar
Belajar merupakan istilah yang
tidak asing lagi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Karena telah sangat
dikenal mengenai belajar ini, seakan-akan orang telah mengetahui dengan
sendirinya apakah yang dimaksud dengan belajar itu. Etapi kalau ditanyakan
kepada diri sendiri, maka akan termenunglah untuk mencari jawaban apakah
sebenarnya yang diaksud dengan belajar itu. Kemungkinan besar jawaban atas
pertanyaan tersebut akan mendapatkan jawaban yang bermacam-macam, demikian pula
dikalangan para ahli.
Esensi yang dianggap oleh
masing-masing ahli mungkin dapat sama, tetapi dalam memberikan formulasi
batasannya sukar untuk mencapai kesamaan yang mutlak. Cukup banyak definisi
mengenai belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli. Seperti yang
dikemukakan oleh Skinner (1958) yang menyetakan bahwa “countless definition of
learning has been given”. Hal
tersebut dikemukakan karena memang definisi mengenai belajar itu cukup banyak.[1]
Untuk memberikan gambaran mengenai hal tersebut
dapat dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli
sebagai berikut:
·
Skinner
(1958) memberikan definisi belajar “learning
is a process of progressive behavior adaptation” dari definisi tersebut
dapat dikemukakan bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi
perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti sebagai berakibat dari belajar
adanya sifat progressivitas, adanya tendensi kearah yang lebih sempurna atau
lebih baik dari keadaan sebelumnya.
·
McMeoch (lih. Bugelski, 1956) memberikn definisi
mengenai belajar “learning is a change in
performance as a result of practice” ini berarti bahwa belajar membawa
perubahan dalam performance, dan perubahan itu sebagai akibat dari latihan
(practice). Pengertian latihan atau practice mengandung arti bahwa adanya usaha
dari individu yang belajar. Baik yang dikemukakan oleh skinner maupun yang
dikemukakan oleh McGeoch dikemukakan perubahan itu sebagai akibat dari latihan,
sedangkan apa yang dikemukakan skinner tidak secara jelas hal tersebut
diajukan.
·
Morgan dkk. (1984) memberikan definisi mengenai belajar “learning can be defined as any
relatively permanent change in behavior which occurs as a result of practice or
experience”. Hal yang muncul dalam definisi ini ialah bahwa perubahan
perilaku atau performance itu relative
permanen. Disamping itu juga dikemukakan bahwa perubahan perilaku itu sebagai
akibat belajar karena latihan (practice)
atau karena pengalaman (experience).
Pada pengertian latihan dibutuhkan usaha dari individu yang bersangkutan,
sedangkan pada pengertian pengalaman usaha tersebut tidak tentu diperlukan. Ini
mengandung arti bahwa dengan pengalaman seseorang atau individu dapat berubah
perilakunya, disamping perubahan itu disebabkan oleh karena latihan.
Dari hal-hal tersebut dapat dikemukakan beberapa hal mengenai belajar
sebagai berikut:
1.
Belajar merupakan suatu proses, yang
mengakibatkan adanya perubahan perilaku (change
in behavior or performance). Ini berarti sehabis belajar individu mengalami
perubahan dalam perilaku. Perilaku dalam arti yang luas dapat overt behavior
atau inert behavior. Karena itu berubahan itu dapat dalam segi kognitif,
afektif dan dalam segi psikomotor.
2.
Perubahan perilaku itu dapat aktual, yaitu yang
menampak, tetapi juga dapat bersifat potensial, yang tidak menampak pada saat
itu, tetapi akan nampak di lain kesempatan.
3.
Perubahan yang disebabkan karena belajar itu
bersifat relative permanen, yang berarti perubahan itu akan bertahan dalam
waktu yang relatif lama. Tetapi perubahan itu tidak akan menetap terus menerus,
sehingga pada suatu waktu hal tersebut dapat berubah lagi sebagai akibat
belajar.
4.
Perubahan perilaku, baik yang aktual maupun yang
potensial, yang merupakan hasil belajar, merupakan perubahan yang melalui
pengalaman atau latihan. Ini berarti
perubahan itu bukan terjadi karena faktor kematangan yang ada pada diri
individu, bukan karena faktor kelelahan dan juga bukan factor temporer individu
seperti keadaan sakit serta pengaruh obat-obatan.
B. Belajar Sebagai Suatu Proses
Dari bermacam-macam definisi yang
telah dipaparkan didepan dapat dikemukakan bahwa pada umumnya para ahli melihat
belajar itu sebagai proses. Prosesnya sendiri tidak menampak, yang tampak
adalah hasil dari proses. Karena belajar merupakan suatu proses, maka dalam
belajar adanya masukan, yaitu yang akan diproses dan adanya hasil dari proses tersebut.
Apabila hal ini digambarkan, maka akan didapati skema sebagai berikut.
Masukan proses hasil
(input) (output)
Dari bagan tersebut dapat
dikemukakan belajar merupakam sesuatu yang terjadi dalam diri individu yang
disebabkan kaena latihan atau pengalaman, hal ini menimbulkan perubahan dalam
perilaku. Ini berarti bahwa proses belajar merupakan intervening variable yang
merupakan penghubung atau pengkait antara independent variable dengan dependent
variable. Seperti yang digambarkan oleh Hergenhahn dan Olso (1997:3).
Independent Intervening Dependent
Variables Variables
Variables
Experience
Learning behavioral
Changes
Dengan demikian akan jelas bahwa
proses belajar itu sendiri terdapat dalam diri individu yang belajar, yang kemudian menghasilakan
perubahan dalam perilakunya.
C. Belajar Sebagai Suatu Sistem
Banyak faktor yang mempengaruhi
proses belajar. Masukan apabila dianalisis lebih lanjut, akan didapati beberapa
jenis masukan, yaitu masukan mentah (raw
input), masukan insrtumen (instrumental
input) dan masukan lingkungan (environmental
input). Semua ini berinteraksi dalam proses belajar, yang pada akhirnya
akan mempengaruhi hasil belajar. Apabila alah satu factor terganggu, maka
proses akan terganggu dan hasil juga akan terganggu. Masing-masing faktor
tersebut saling kait-mengkait satu dengan yag lain, karenanya belajar itu
merupakan suatu sistem. Apabila masukan instrumental terganggu, maka proses
akan terganggu, hasil akan terganggu. Apabila hal tersebut digambarkan, maka
akan terdapat gambar atau skema sebagai berikut.
Masukan intstrumental
Masukan mentah hasil
Masukan lingkungan
Masukan mentah adalah individu atau
orgenisme yang akan belajar. Misalnya, siswa, mahasiswa atau anak yang akan
belajar. Masukan instrumental adalah masukan yang berkaitan dengan alat-alat
atau intrumen yang digunakan dalam proses belajar. Misalnya, rumah, kamar,
gedung, peraturan-peraturan. Peraturan merupakan masukan instrument yang lunak,
sedangkan kamar, rumah gedung merupakan masukan instrument yang keras. Masukan
lingkungan fisik maupun non-fisik. Misalnya, tempat belajar yang gaduh atau
ramai merupakan hal yang kurang menguntungkan untuk proses belajar.
Dalam masalah belajar apda umumnya
yang menjadi persolan ialah bertitik tolak dari hasil belajar. Apabila hasil
belajar baik, maka pada umumnya tidak akan menimbulkan masalah. Tetapi
sebaliknya apaila hasil tidak memuaskan, persoalan akan segera timbul. Karena
itu dalam belajar, pada umumnya orang akan melihat terlebih dahulu atau sebagai
titik tolaknya hasil belajar. Setelah hasil belajar, orang akan melihat
bagaimana prosesnya dan kemudian bagaimana masukannya.
D. Teori-Teori Belajar
Secara prakmatis, teori belajar
dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlaah fakta dan penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak teori yang
berdasarkan hasil eksperimen terdapat
tiga macam yang sangat menonjol, yakni: connectionism,
classical conditioning dan operant
conditioning.
Teori-teori tersebut merupakan
ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk
mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti contigious conditioning(Guthri), sign learning (Tolman), gestalt theory dan lain sebagainya.
1.
KONEKSIONISME
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang di
temukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan
eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini
menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar di
tempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan
peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan
dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga
memungkinkan kucing tersebut memeroleh makanan yang tersedia didepan sangkar
tadi.
Keadaan dalam bagian sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) merupakan
situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan
memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong,
mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh
makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing
itu berhasil menekan, mengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut.
Eksperimen puzzle box ini terkenal
dengan nama instrumental conditioning. Artinya,
tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk
mencapai hasil atau ganjaran yang di kehendaki. [2]
2.
PEMBIASAAN KLASIK
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang
berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936),
seorang ilmuan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah nobel pada tahun
1909. Pada dasarnya classical
conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara
mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973).
Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata di pakai untuk
menghargai karya Pavlov yang di anggap paling dahulu di bidang conditioning lainnya (Gleitman, 1986)
selanjutnya, mungkin karna fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat di sebut respondent conditioning (pembiasaan yang
di tuntut).
Dalam eksperimennya, Pavlov
menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned
stimulus (UCS), conditioned response
(CR), dan unconditioned-response
(UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang di
pelajari, sedangkan respon yang di pelajari itu sendiri disebut conditioned response (CR). Adapun unconditioned-response (UCS) berarti rangsangan yang
menimbulkan respons yang tidak di pelajari, dan respons itu di sebut unconditioned response (UCR).
Anjing percobaan itu mula-mula
diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjer air liurnya di beri alat
penampung cairan yang di hubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu di ketahui bahwa sebelum di latih (dikenai
eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali
mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu
menunjukkan reaksinya yang relefan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian dilakukan eksperimen
berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel bersama-sama dengan pemberian
makanan berupa serbuk daging. Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai,
suara bel tadi diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan. Apa yang terjadi,
ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga, meskipun hanya
mendengar suara bel. Jadi akan menghasilkan conditioned
response apabila (CS) telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
3.
PEMBIASAAN PERILAKU RESPONS
Teori pembiasaan perilaku respons
(operant conditioning) ini merupakan
teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan
para ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic
Skinner (lahir tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang di anggap
kontraversial.
Dalam salah satu eksperimennya,
Skinner menggunakan seekor tikus yang di tempatkan dalam sebuah peti yang
kemudian terkenal dengan nama “Skinner
Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok yakni:
manipulandum dan alat pemberi reintforcement
yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat
dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reintforcement. Komponen ini
terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit.[3]
Dalam eksperimen tadi mula-mula
tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium
benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi
seperti ini disebut “emitted behavior”(tingkah
laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa
mempedulikan stimulus tertentu. Kemudian pada giliranya ,secara kebetulan salah
satu emitted behavior tersebut
(seperti cataran kaki depan atau sentuhann moncong) dapat menekan pengungkit.
Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan kedalam
wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul
itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit, penekan pengungkit inilah
disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan
rienforcement, yakni penguatan rupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah
makanan.
Teori-teori belajar hasil
eksperimen Thorndike, Skinner dan Plavlov diatas secara prinsipal behavioristik
dalam arti lebih menekankan timbulnya prilaku jasmaniah yang nyata dan dapat di
hukum.teori-teori itu juga bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika
kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologi
kognitif, karakteristik belajar yang terdapat teori-teori behavioristik yang
terlanjur diyakini sebagian besar akhir pendidikan kita itu, sesungguhnya
banyak kelemahan .
4.
TEORI PENDEKATAN KOGNITIF
Teori psikologi kognitif adalah
bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat
berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan. Pendekatan psikologi kognitif
lebih menekankanarti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan
para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan
diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti : motivasi, kesengajaan,
keyakinan, dsb.
Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya
adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah)
meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampil
setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang
belajar membaca dan menulis,
misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan
tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku
mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan
semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebuh penting karena
dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Sehubungan dengan hal ini, Piaget, seorang pakar psikologi terkemuka,
menyimpulkan:... Children have a
built-in desire to learn (barlow, 1985), bahwa anak-anak memiliki kebutuhan
yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.
E. Unsur-Unsur Belajar
Cronbach, mengemukakan adanya tujuh unsur
utama dalam proses belajar yaitu:[4]
1)
Tujuan.
2)
Kesiapan.
3)
Situasi.
4)
Interpretasi.
5)
Respons.
6)
Konsekuensi.
7)
Reaksi terhadap kegagalan.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
DR. Muhibbin Syah M.ED, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010.
Prof. Dr.
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum,
Yogyakarta: Andi Offset, 1980.
[1] Prof. Dr. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta:
Andi Offset, 1980), Hal 166.
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), hal 103.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), hal 107
[4] Prof. Dr. Nana Syaodih
Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses
Pendidikan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hal 157.