Minggu, 26 Mei 2013

Psikologi Manajemen




BAB II
PEMBAHASAN
TEORI BELAJAR
   A.    Pengertian Belajar
Belajar merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Karena telah sangat dikenal mengenai belajar ini, seakan-akan orang telah mengetahui dengan sendirinya apakah yang dimaksud dengan belajar itu. Etapi kalau ditanyakan kepada diri sendiri, maka akan termenunglah untuk mencari jawaban apakah sebenarnya yang diaksud dengan belajar itu. Kemungkinan besar jawaban atas pertanyaan tersebut akan mendapatkan jawaban yang bermacam-macam, demikian pula dikalangan para ahli.
Esensi yang dianggap oleh masing-masing ahli mungkin dapat sama, tetapi dalam memberikan formulasi batasannya sukar untuk mencapai kesamaan yang mutlak. Cukup banyak definisi mengenai belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli. Seperti yang dikemukakan oleh Skinner (1958) yang menyetakan bahwa “countless definition of learning has been given”. Hal tersebut dikemukakan karena memang definisi mengenai belajar itu cukup banyak.[1]
Untuk memberikan gambaran mengenai hal tersebut dapat dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli sebagai berikut:
·         Skinner (1958) memberikan definisi belajar “learning is a process of progressive behavior adaptation” dari definisi  tersebut  dapat dikemukakan bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti sebagai berakibat dari belajar adanya sifat progressivitas, adanya tendensi kearah yang lebih sempurna atau lebih baik dari keadaan sebelumnya.
·         McMeoch (lih. Bugelski, 1956) memberikn definisi mengenai belajar “learning is a change in performance as a result of practice” ini berarti bahwa belajar membawa perubahan dalam performance, dan perubahan itu sebagai akibat dari latihan (practice). Pengertian latihan atau practice mengandung arti bahwa adanya usaha dari individu yang belajar. Baik yang dikemukakan oleh skinner maupun yang dikemukakan oleh McGeoch dikemukakan perubahan itu sebagai akibat dari latihan, sedangkan apa yang dikemukakan skinner tidak secara jelas hal tersebut diajukan.
·         Morgan dkk. (1984) memberikan definisi mengenai belajar “learning can be defined as any relatively permanent change in behavior which occurs as a result of practice or experience”. Hal yang muncul dalam definisi ini ialah bahwa perubahan perilaku atau  performance itu relative permanen. Disamping itu juga dikemukakan bahwa perubahan perilaku itu sebagai akibat belajar karena latihan (practice) atau karena pengalaman (experience). Pada pengertian latihan dibutuhkan usaha dari individu yang bersangkutan, sedangkan pada pengertian pengalaman usaha tersebut tidak tentu diperlukan. Ini mengandung arti bahwa dengan pengalaman seseorang atau individu dapat berubah perilakunya, disamping perubahan itu disebabkan oleh karena latihan.
Dari hal-hal tersebut dapat dikemukakan beberapa hal mengenai belajar sebagai berikut:
1.      Belajar merupakan suatu proses, yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku (change in behavior or performance). Ini berarti sehabis belajar individu mengalami perubahan dalam perilaku. Perilaku dalam arti yang luas dapat overt behavior atau inert behavior. Karena itu berubahan itu dapat dalam segi kognitif, afektif dan dalam segi psikomotor.
2.      Perubahan perilaku itu dapat aktual, yaitu yang menampak, tetapi juga dapat bersifat potensial, yang tidak menampak pada saat itu, tetapi akan nampak di lain kesempatan.
3.      Perubahan yang disebabkan karena belajar itu bersifat relative permanen, yang berarti perubahan itu akan bertahan dalam waktu yang relatif lama. Tetapi perubahan itu tidak akan menetap terus menerus, sehingga pada suatu waktu hal tersebut dapat berubah lagi sebagai akibat belajar.
4.      Perubahan perilaku, baik yang aktual maupun yang potensial, yang merupakan hasil belajar, merupakan perubahan yang melalui pengalaman atau latihan. Ini berarti  perubahan itu bukan terjadi karena faktor kematangan yang ada pada diri individu, bukan karena faktor kelelahan dan juga bukan factor temporer individu seperti keadaan sakit serta pengaruh obat-obatan.

   B.     Belajar Sebagai Suatu Proses
Dari bermacam-macam definisi yang telah dipaparkan didepan dapat dikemukakan bahwa pada umumnya para ahli melihat belajar itu sebagai proses. Prosesnya sendiri tidak menampak, yang tampak adalah hasil dari proses. Karena belajar merupakan suatu proses, maka dalam belajar adanya masukan, yaitu yang akan diproses dan adanya hasil dari proses tersebut. Apabila hal ini digambarkan, maka akan didapati skema sebagai berikut.

Masukan                                     proses                                       hasil
(input)                                                                                         (output)

            Dari bagan tersebut dapat dikemukakan belajar merupakam sesuatu yang terjadi dalam diri individu yang disebabkan kaena latihan atau pengalaman, hal ini menimbulkan perubahan dalam perilaku. Ini berarti bahwa proses belajar merupakan intervening variable yang merupakan penghubung atau pengkait antara independent variable dengan dependent variable. Seperti yang digambarkan oleh Hergenhahn dan Olso (1997:3).

Independent                           Intervening                                     Dependent
Variables                               Variables                                        Variables

Experience                                Learning                                       behavioral
                                                                                                    Changes

            Dengan demikian akan jelas bahwa proses belajar itu sendiri terdapat dalam diri individu  yang belajar, yang kemudian menghasilakan perubahan dalam perilakunya.

   C.    Belajar Sebagai Suatu Sistem
            Banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar. Masukan apabila dianalisis lebih lanjut, akan didapati beberapa jenis masukan, yaitu masukan mentah (raw input), masukan insrtumen (instrumental input) dan masukan lingkungan (environmental input). Semua ini berinteraksi dalam proses belajar, yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil belajar. Apabila alah satu factor terganggu, maka proses akan terganggu dan hasil juga akan terganggu. Masing-masing faktor tersebut saling kait-mengkait satu dengan yag lain, karenanya belajar itu merupakan suatu sistem. Apabila masukan instrumental terganggu, maka proses akan terganggu, hasil akan terganggu. Apabila hal tersebut digambarkan, maka akan terdapat gambar atau skema sebagai berikut.

                                                  Masukan intstrumental

 
Masukan mentah                                                                                  hasil


 


                                                    Masukan lingkungan

            Masukan mentah adalah individu atau orgenisme yang akan belajar. Misalnya, siswa, mahasiswa atau anak yang akan belajar. Masukan instrumental adalah masukan yang berkaitan dengan alat-alat atau intrumen yang digunakan dalam proses belajar. Misalnya, rumah, kamar, gedung, peraturan-peraturan. Peraturan merupakan masukan instrument yang lunak, sedangkan kamar, rumah gedung merupakan masukan instrument yang keras. Masukan lingkungan fisik maupun non-fisik. Misalnya, tempat belajar yang gaduh atau ramai merupakan hal yang kurang menguntungkan untuk proses belajar.
            Dalam masalah belajar apda umumnya yang menjadi persolan ialah bertitik tolak dari hasil belajar. Apabila hasil belajar baik, maka pada umumnya tidak akan menimbulkan masalah. Tetapi sebaliknya apaila hasil tidak memuaskan, persoalan akan segera timbul. Karena itu dalam belajar, pada umumnya orang akan melihat terlebih dahulu atau sebagai titik tolaknya hasil belajar. Setelah hasil belajar, orang akan melihat bagaimana prosesnya dan kemudian bagaimana masukannya.

   D.    Teori-Teori Belajar
            Secara prakmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlaah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni: connectionism, classical conditioning dan operant conditioning.
Teori-teori tersebut merupakan ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti contigious conditioning(Guthri), sign learning (Tolman), gestalt theory dan lain sebagainya.
1.      KONEKSIONISME
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang di temukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar di tempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memeroleh makanan yang tersedia didepan sangkar tadi.
 Keadaan dalam bagian sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan, mengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang di kehendaki. [2]

2.      PEMBIASAAN KLASIK
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973).
Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata di pakai untuk menghargai karya Pavlov yang di anggap paling dahulu di bidang conditioning lainnya (Gleitman, 1986) selanjutnya, mungkin karna fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat di sebut respondent conditioning (pembiasaan yang di tuntut).
Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned-response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang di pelajari, sedangkan respon yang di pelajari itu sendiri disebut conditioned response (CR). Adapun unconditioned-response (UCS) berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak di pelajari, dan respons itu di sebut unconditioned response (UCR).
Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjer air liurnya di beri alat penampung cairan yang di hubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu di ketahui bahwa sebelum di latih (dikenai eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relefan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging. Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan. Apa yang terjadi, ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga, meskipun hanya mendengar suara bel. Jadi akan menghasilkan conditioned response apabila (CS) telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.

3.      PEMBIASAAN PERILAKU RESPONS
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang di anggap kontraversial.
Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang di tempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok yakni: manipulandum dan alat pemberi reintforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reintforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit.[3]
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted behavior”(tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa mempedulikan stimulus tertentu. Kemudian pada giliranya ,secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cataran kaki depan atau sentuhann moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan kedalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit, penekan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan rienforcement, yakni penguatan rupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner dan Plavlov diatas secara prinsipal behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya prilaku jasmaniah yang nyata dan dapat di hukum.teori-teori itu juga bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologi kognitif, karakteristik belajar yang terdapat teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar akhir pendidikan kita itu, sesungguhnya banyak kelemahan .

4.      TEORI PENDEKATAN KOGNITIF
Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan. Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankanarti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti : motivasi, kesengajaan, keyakinan, dsb.
Dalam perspektif  psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampil setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan  menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebuh penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Sehubungan dengan hal ini, Piaget, seorang pakar psikologi terkemuka, menyimpulkan:... Children have a built-in desire to learn (barlow, 1985), bahwa anak-anak memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar. 

   E.     Unsur-Unsur Belajar
Cronbach, mengemukakan adanya tujuh unsur utama dalam proses belajar yaitu:[4]
1)      Tujuan.
2)      Kesiapan.
3)      Situasi.
4)      Interpretasi.
5)      Respons.
6)      Konsekuensi.
7)      Reaksi terhadap kegagalan.


 
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
DR. Muhibbin Syah M.ED, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Prof. Dr. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Andi Offset, 1980.





[1] Prof. Dr. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offset, 1980), Hal 166.
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal 103.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal 107
[4] Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hal 157.

Sejarah Pendidikan Islam


BAB II
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH

A.      Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M/ 1265 H  disebuah desa di Propinsi Gharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah.Abduh lahir dilingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallaj Nashr. Situasi politik yang tidak stabil menyebabkan orang tuanya berpindah-pindah, dan kembali ke Mahallaj Nashr setelah situasi poltiki mengizinkan.
Masa pendidikannya dimulai dengan pelajatan dasar membaca dan menulis yang didapatnya dari orang tuanya. Kemudian sebagai pelajaran lanjutan ia belajar Qur’an pada seorang hafiz. Dalam masa waktu dua tahun ia telah menjadi seorang yang hafal al-Qur’an Pendidikan selanjutnya ditempuhnya di Thanta, sebuah lembaga pendidikan mesjid Ahmadi.
     Ditempat ini ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas, bahkan membawanya pada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu. Ia tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan yang mementingkan hafalan tanpa pengertian bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahu dan fiqih yang tidak dipahaminya, sehingga ia kembali ke Mahallaj Nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun.
Orang tuanya tidak menyetujui langkah yang diambilnya, dan memerintahkan agar kembali ke Mesjid Ahmad di Thanta. Dengan terpakasa diturutinya juga kemauan orang tuanya, namun ditengah perjalanan di justru berbelok kea rah lain, yaitu sebuah desa tempat tinggal pamannya yaitu Syeikh Darwsy Khadir (paman dari ayah Muhammad Abduh), Syekh Darwsy tahu sebab-sebah keengganan Abduh untuk belajar di Thanta, maka ia selalu membujuk Muhammad Abduh supaya membaca buku bersama-samanya.
Muhammad Abduh menceritakan sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution dari kitab ; Muzakirat al-Iman Muhammad Abduh, bahwa  ia pada saat itu benci melihat buku, dan buku yang diberikan Darwsy ia lempar jauh-jauh. Buku itu dipungut lagi oleh Darwsy dan diberikan lagi pada Abduh, Darwsy selalu sabar menghadapi Abduh, dan akhirnya M.Abduh mau juga membaca buku  tersebut beberapa baris. Setiap barisnya Darwisy memberikan penjelasan luas tentang arti dan maksud yang dikandung kalimat tersebut.Akhinya Muhammad Abduh berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai paham dengan apa yang dibacanya, kemudian ia kembali ke Thanta  yaitu pada bulan oktober 1865 M/ 1286 H.
Muhammad Abduh melanjutkan pendidikan di Thanta, akan tetapi 6 bulan di Thanta ia meninggalkan Thanta dan menuju al-azhar yang diyakininya al-Azhar adalah tempat mencari ilmu yang sesuai untuknya. Di al-Azhar, ia hanya mendapatkan pelajara ilmu-ilmu agama saja, disinipun ia menemukan metode yang sama dengan Thanta. Hal ini membuatnya kembali kecewa. Dalam salah satu tulisannya ia melemparkan rasa kekecewaannya tersebut dengan menyatakan bahwa metode pengajaran yang verbalis itu telah merusak akal dan daya nalarnya. Rasa kecewa itulah agaknya yang menyebabkannya menekuni dunia mistik  dan hidup sebagai sufi Tahun 1871 Abduh bertemu dengan sayyid  Jamaludin a.Afghani yang dating ke Mesir pada tahun itu, Dari jamaluddin, ia mendapatkan ilmu pengetahuan falsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti, meskipun sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu tersebut di luar al-Azhar. Metode yang dipakai jamalludin yang telah lama dicarinya selama ini, sehingga ia lebih puas menerima ilmu dari guru barunya tersebut. Seperti ia ungkapkan bahwa Jamaluddin telah melepaskannya dari kegoncangan kejiwaan yang dialaminya.
Metode pengajaran yang digunakn oleh Jamaluddin adalah metode praktis (‘maliyyah) yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara diskusi. Metode itulah tampaknya yang diterapkan Abduh setelah ia jadi pendidik. Selain pengetahuan teoritis Jamaluddin juga mengajarkan pengetahuan  praktis, seperti berpidato, menulis artikel dan sebagainya. Sehingga dengan demikian, membawanya tampil didepan public, juga secara langsung melihat situasi sosial politik negaranya.
Meskipun dia aktif mencari ilmu di luar al-Azhar, di al-Azhar sendiripun ia tidak melalaikan tugasnya sebagai mahasiswa sehinga ia meraih gelar ‘alim pada tahun 1877,Tahun 1877-1882, ia di asingkan di Bairut, karena ia terlibat politik,di pengasingan ini ia punya kegiatan sebagai guru dan penulis.
Karirnya sebagai guru ia tempuhnya di tiga lembaga pendidikan formal yaitu al-azhar, Dar al-Ulum dan perguruan bahasa Khedevi. Ia mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti teologi, sejarah, ilmu politik dan kesusastraan Arab.
     Tampaknya ada dua hal yang ditekankannya dalam memberikan pengajaran, yaitu metode diskusi yang diwarisi dari gurunya Jamaluddin dan semangat pembaharuan yang ditanamkannya dalam setiap mata pelajaran. Tujan pengajaran yang demikian yang menjadi salah satu sebab dicurigai oleh Khedevi, dianggap tidak mendukung kebijaksanaan pemerintahan dan bekerjasama dengan inggris, sehingga ia tidak mengajar lagi di Dar al-Ulum dan lembaga bahasa. Namun disisi lain karirnya menanjak, lebih-lebih setelah diangkat menjadi pimpinan redaksi surat kabar al-waqai’ al-Mishriyyah yang merupakan salah satu organ pemerintah. Jabatan ini membuat ia mudah melancarkan kritikan terhadap pemerintahan dengan artikel-artikel yang dituliskannya, baik masalah agama, sosial, politik dan kebudayaan. Media ini juga telah mengantarkannya pada politik praktis sehingga ia dituduh terlibat dalam pemberontakan yang dipimpin oleh ‘Urabi Pasya pada tahun 1882, sehingga ia diasingkan keluar negeri. Namun ia tetap tidak tinggal diam bahkan sasarannya tidak hanya masyarakat Mesir tapi dakwanya malah mendunia, sehingga ia bersama Jamaluddin menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan al’Urwat al-wusqa.  Ide yang terkandung dalam gerakan tersebut tetap sama yaitu membangkitkan semangat umat Islam untuk melawan kekuasaan barat. Namun gerakan majalah tersebut tidak lama karena dilarang oleh pemerintah colonial. Pada tahun 1834 ia kembali ke Beirut.
Kegiatan pembelajaran dilanjutkannya lagi setelah ada di Beirut menterjemah kitab-kitab kedalam bahasa Arab juga ia lakukan. Sehingga di kota ini ia menyelesaikan penulisan buku yang termasyur Risalat at-tauhid yang ditulisnya semasa mengajar di Madrasah Sulthaniah, disamping beberapa buku terjemahan yang lain . Tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah selesai masa pengasingan.
Pembaharuan yang kedua yang dilakukannya sebagai mufti di tahun 1899 menggantikan Syekh Hasanuddin al-Nadawi.Usaha yang pertama yang dilakukannya disini adalah memperbaiki pandangan masyarakat bahkan pandangan mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim.Mufti-mufti sebelumnya berpandangan, bahwa sebagai mufti betugas sebagai penasehat hukum bagi kepentingan Negara.Diluar itu seakan meraka melepaskan diri dari orang yang mencari kepastian hukum.Mufti baginya bukan hanya berkhidmat pada Negara, tetapi juga pada masyarakat luas.Dengan demikian kehadiran Muhammad Abduh tidak hanya dibutuhkan oleh Negara tapi juga oleh masyarakat luas.
Bisa dikatakan pembaharuan yang ketiga yang dilakukannya ialah dibuktikan dengan didirikannya organisasi sosial yang bernama al-Jami’at al-Khairiyyah al-Isskamiyyah pada tahun 1892.Organisasi ini bertujuan untuk menyantuni fakir miskin dan anak yang tidak mampu dibiayai oleh orang tuanya. Wakaf merupakan salah satu institusi yang tidak luput dari perhatiannya, sehingga ia membentuk majlis administrasi wakaf sehingga ia berhasil memperbaiki perangkat mesjid.
Dalam kenyataan tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang dibawanya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar.Penghalang yang utama yang dihadapinya adalah para ulama yang berpikiran statis beserta masyarakat awam yang mereka pengaruhi.Khedewi sendiripun akhirnya tidak setuju dengan pembaharuan fisik yang dibawa Muhammad Abduh terutama tentang institusi wakaf yang menyangkut masalah keuangan.
Dalam hal banyak rintangan tersebut Abduh jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil awal 1323 H/ 11 Juli 1905, jenazah Muhammad Abduh dikebumikan di Kairo (Pemakaman Negara). Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh adalah
 -Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya terutama Syekh Darwisy dan Sayyid Jamaludin al-Afghani, disamping itu lingkungan sekolah di Thanta dan Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan yang tidak efektif, serta dengan keagamaan yang statis dan fikiran-fikiran yang fatalistic. 
-Faktor kebudayaan, berupa ilmu yang diperolehnya selama belajar disekolah-sekolah formal dari Jamaludin al-Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya dari barat.
-Faktor politik yang bersumber dari situasi politik dimasanya, sejak dilingkungan keluarganya di Mukallaf Nashr.
Ketika faktor tersebut yang melatar belakangi lahirnya pemikiran Muhammad Abduh dalam berbagai bidang, teologi, syari’ah, pendidikan, sosial politik dan sebagainya.Pemikiran yang berkaitan dengan teologi difokuskan pada perbuatan manusia (af’al –‘ibad) qada dan qadar serta sifat-sifat Tuhan.
Perbuatan manusia bertolak dari satu dedukasi bahwa manusia adalah makhluk yang bebas memilih perbuatan.Menurut Muhammad Abduh ada tiga unsur yang mendukung suatu perbuatan yaitu akal, kemauan dan daya.Ketiganya merupakan ciptaan Tuhan bagi manusia yang dapat dipergunakan dengan bebas.
Qada dan qadar menurut Abduh adalah salah satu pokok aqidah dalam agama, yang harus diberi pengertian yang benar, karena aqidah bertempat dihati (Qalbiyyah).Ia akan terpantul dalam sikap dan perbuatan. Dari itulah aqidah qada dan qadar yang benar bisa  memantulkan sikap hidup yang dinamis, sedangkan aqidah yang menyimpang akan menimbulkan sikap tidak menguntungkan, fatalistis, bahkan pemahaman yang salah terhadap ajaran-ajaran agama yang lain. Keyakinan terhadap qada dan qadar yang menyimpang kata Abduh telah membawa kehancuran dalam sejarah umat islam, sama halnya dengan aqidah yang benar telah mengantarkan umat Islam pada masa-masa kejayaan.
Untuk mengimbangi serangan Kristen atas Islam, Muhammad Abduh berusaha mencoba mendefinisikan kembali (redefinisi) ajaran Islam yang berbeda dengan Kristen.Upayanya ini merupakan kebenaran bukti penggunaan pendekatan apologetiknya. Menurut Yvonne Haddad, Muhammad Abduh telah berhasil mengungkapkan delapan keunggulan Islam atas Kristen yaitu :
1.   Islam menegaskan bahwa menyakini keesaan Allah dan membenarkan risalah Muhammad merupakan kebenaran inti ajaran Islam.
2.   Kaum Muslim sepakat bahwa akal dan wahyu berjalan tidak saling bertentangan, karena keduanya berasal dari sumber yang sama.
3.   Islam sangat terbuka atas berbagai interprestasi. Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan adanya saling mengafirkan di antara kaum muslim.
4.   Islam tidak membenarkan seseorang menyerukan risalah Islam kepada orang lain, kecuali dengan bukti.
5.    Islam diperintahkan untuk menumbangkan otoritas agama,karena satu-satunya hubungan sejati adalah hubungan manusia dengan tuhannya secara langsung.
6.   Islam melindungi dakwah dan risalah, dan menghentikan perpecahan dan fitnah.
7.  Islam adalah agama kasih sayang, persahabatan, dan mawaddah kepada orang yang berbeda doktrinnya.
8.   Islam memadukan antara kesejahteraan dunia dan akhirat.
Banyak penulis berpendapat bahwa Muhammad abduh cenderung mu’tazilah. Sedangkan syari’ah yang ditekan Abduh adalah pada persoalan ijtihad, yaitu corak usaha yang ditempuh dalam memahami Syari’ah  untuk memahami kepastian hukum. Pemikiran Muhammad Abduh dalam masalah ini ada dua hal yaitu pandangan ijtihat dan mazhab fiqih serta ijtihabnya Muhammad Abduh.

B.       Metode Muhammad Abduh dalam pembaharuan
Dalam melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada umat islam. Melalui pendidikan, pembelajaran,dan perbaikan akhlaq.Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan agama islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan.Sebagaimana telah didefinisikan bahwa pembaharuan (tajdid) adalah kebangkitan dan penghidupan kembali dalam bidang keilmuan Islam dan aplikasi sebagaimana pada zaman Rasullullah dan para sahabat.Yang selama ini sempat hilang, terlupakan, bahkan terhapus dari tubuh umat Islam.
            Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan adalah jalan tengah. Dalam hal ini beliau membagi umat Islam kepada 2 bagian yaitu:
1.  Mereka yang condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua. Mereka itu yang biasa disebut al-muqallid.
2.   Mereka yang condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta berbagai disiplin ilmu yang dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi.
Metode dalam pembaharuan yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil jalan tengah antara kedua kelompok diatas. Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut.Yaitu antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan dalam mengikuti barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya: “sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu al-qur’an dan al-hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.
C.      Agenda Pembaharuan Muhammad Abduh
1.    Purifikasi
Purifikasi atau pemurnian ajaran islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslimin.
2.    Reformasi
Dengan agenda reformasinya, Muhammad Abduh berambisi untuk melenyapkan sistem dualisme dalam pendidikan di Mesir.Dia menawarkan kepada sekolah modern agar menaruh perhatian pada aspek agama dan moral. Dengan mengandalkan aspek intelektual saja sekolah modern hanya akan melahirkan pendidikan yang merosot moralnya. Sedangkan kepada sekolah agama, seperti Al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai pionirnya, ia telah memperkenalkan ilmu-ilmu Barat kepada Al-Azhar, disamping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam klasik yang orisinil, seperti Muqodimah karya Ibnu Khaldun.
Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muhammad Abduh pada Universitas almamaternya, Al-Azhar.Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku kelasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam.Akan tetapi kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.Usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangkan matakuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar.Dengan belajar filsafat, semangat intlektualisme Islam yang padam diharapkan hidup kembali.
3.    Pembelaan Islam
Muhammad Abduh lewat Risalah Al-Tauhidny tetap mempertahankan potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret Islam dengan dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran Illahi yang dipelajari melalui agama.
4.    Reformulasi
Agenda reformulasi tersebut dilaksanakan Muhammad Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihad. Menurutnya, kemunduran kaum muslim disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan ekternal. Muhammad Abduh dengan reformulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya.
Pembaruan pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar belakangi oleh faktor situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan itu sendiri yang ada pada saat itu.Situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat Islam di Mesir dalam memahami dan meaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari.Krisis yang menimpa umat Islam saat itu bukan hanya dalam bidang aqidah dan Syariah, tetapi juga akhlak, moral.Hal itu terlihat dalam penekanan terhadap hak-hak wanita, penguasaan terhadap martabat dan harga diri mereka yang ditinggikan oleh Islam.Keizinan yang diberikan Syari’ah untuk beristri lebih dari satu ditafsirkan dengan mengenyampingkan syarat-syarat bagi terbuka izin tersebut.Poligamipun menjadi sumber kemelaratan wanita dan anak-anak.Perkawinan seakan menjadi sebuah institusi yang mengikat mereka dalam derita dan kesengsaraan.
D.      Pemikiran Muhammad Abduh di Bidang Pendidikan
1.    Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzahaban
2.    Perlawanan terhadap buku-buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis.
3.    Reformasi Al-Azhar yang merupakan jantung umat Islam, jika ia rusak maka rusaklah umat dan jika baik maka baiklah umat.
4.    Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah ummatnya, serta mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Menurut Muhammad Abduh terpecahnya ummat Islam menjadi beberapa golongan disebabkan oleh kelemahan mereka sebagai satu ummat yang kuat, dan itu terjadi karena adanya fanatisme terhadap suatu madzhab. Banyaknya aliran madzhab pemikiran atau keyakinan, sebenarnya, bukanlah bahaya yang menghancurkan satu ummat, tapi yang bahaya adalah berhukum dan tunduk kepada aliran tersebut, sehingga pengikutnya tidak berani mengemukakan kritik atau pendapat lain. Ketika itu satu jamaah akan menjadi beberapa jamaah, suku dan golongan yang terpisah-pisah yang tidak memiliki satu arah dan tujuan, pemisah itulah fanatisme buta.
E.       Konsep Pendidikan Muhamad Abduh 

Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhamad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional.Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali masing-masing berdiri sendiri.
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkn para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tardisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.
Muhamad Abduh malihat terdapat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran seehingga ia mengkritik kedua corak lembaga ini. Oleh karena itu ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tampa nilai “religius” merupakan bahaya ynag mengancam sendi agama dan moral.
Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pandidikan tersebut dan saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
F.       Inti Pemikiran Muhammad Abduh
1.  Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.
2.  Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia.
3.  Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu.
Kita melihat di sini agenda pembaharuan dibidang bahasa, politik, dan akidah dan tunutunan umum.Dan dalam semua sisi itu, Abduh mengemukakan kritik yang membangun.Sedangkan inti seluruhnya adalah pendidikan Islam.Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam karena salahnya pendidikan.
G.      Peran Penting Muhammad Abduh Dalam Pendidikan:
1.     Menerjemahkan buku pendidikan ke dalam bahasa Arab
2.     Menjadi anggota Majelis Urusan Al-Azhar
3.     Anggota Majelis Tinggi Pendidikan
4.     Penggerak Al-jami’ah al-Khariyah al-Islamiyah(Himpunan sosial Islam).



BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam.Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Ide-ide yang dibawa oleh Syeikh Muhammad Abduh telah mengubah pandangan umat Islam terhadap Islam yang sering taqlid dengan sebagian sarjana Muslim yang jumud dan pasif. Syeikh Muhammad Abduh berjasa dalam memberi gambaran yang jelas tentang keperluan umat Islam kepada pembaharuan, khususnya dalam bidang pendidikan. Ide-ide yang dibawa oleh Syeikh Muhammad Abduh telah mengubah pandangan umat Islam terhadap Islam yang sering taqlid dengan sebagian sarjana Muslim yang jumud dan pasif. Syeikh Muhammad Abduh berjasa dalam memberi gambaran yang jelas tentang keperluan umat Islam kepada pembaharuan, khususnya dalam bidang pendidikan
.
B.  SARAN
Penulis menyadari bahwa makalan ini jauh dari kesempurnaan.Olehnya itu, masukan dari teman peserta seminar terutama kepada Dosen Pemandu, sangat diharapkan demi perbaikan selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Ø Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Ø http://ms.wikipedia.org/wiki/Syeikh_Muhammad_Abduh#Faktor_melakukan_pengislahan dalam_sistem_pendidikan
Ø Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rsullullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009
Ø Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996