Minggu, 26 Mei 2013

Psikologi Manajemen




BAB II
PEMBAHASAN
TEORI BELAJAR
   A.    Pengertian Belajar
Belajar merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Karena telah sangat dikenal mengenai belajar ini, seakan-akan orang telah mengetahui dengan sendirinya apakah yang dimaksud dengan belajar itu. Etapi kalau ditanyakan kepada diri sendiri, maka akan termenunglah untuk mencari jawaban apakah sebenarnya yang diaksud dengan belajar itu. Kemungkinan besar jawaban atas pertanyaan tersebut akan mendapatkan jawaban yang bermacam-macam, demikian pula dikalangan para ahli.
Esensi yang dianggap oleh masing-masing ahli mungkin dapat sama, tetapi dalam memberikan formulasi batasannya sukar untuk mencapai kesamaan yang mutlak. Cukup banyak definisi mengenai belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli. Seperti yang dikemukakan oleh Skinner (1958) yang menyetakan bahwa “countless definition of learning has been given”. Hal tersebut dikemukakan karena memang definisi mengenai belajar itu cukup banyak.[1]
Untuk memberikan gambaran mengenai hal tersebut dapat dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli sebagai berikut:
·         Skinner (1958) memberikan definisi belajar “learning is a process of progressive behavior adaptation” dari definisi  tersebut  dapat dikemukakan bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti sebagai berakibat dari belajar adanya sifat progressivitas, adanya tendensi kearah yang lebih sempurna atau lebih baik dari keadaan sebelumnya.
·         McMeoch (lih. Bugelski, 1956) memberikn definisi mengenai belajar “learning is a change in performance as a result of practice” ini berarti bahwa belajar membawa perubahan dalam performance, dan perubahan itu sebagai akibat dari latihan (practice). Pengertian latihan atau practice mengandung arti bahwa adanya usaha dari individu yang belajar. Baik yang dikemukakan oleh skinner maupun yang dikemukakan oleh McGeoch dikemukakan perubahan itu sebagai akibat dari latihan, sedangkan apa yang dikemukakan skinner tidak secara jelas hal tersebut diajukan.
·         Morgan dkk. (1984) memberikan definisi mengenai belajar “learning can be defined as any relatively permanent change in behavior which occurs as a result of practice or experience”. Hal yang muncul dalam definisi ini ialah bahwa perubahan perilaku atau  performance itu relative permanen. Disamping itu juga dikemukakan bahwa perubahan perilaku itu sebagai akibat belajar karena latihan (practice) atau karena pengalaman (experience). Pada pengertian latihan dibutuhkan usaha dari individu yang bersangkutan, sedangkan pada pengertian pengalaman usaha tersebut tidak tentu diperlukan. Ini mengandung arti bahwa dengan pengalaman seseorang atau individu dapat berubah perilakunya, disamping perubahan itu disebabkan oleh karena latihan.
Dari hal-hal tersebut dapat dikemukakan beberapa hal mengenai belajar sebagai berikut:
1.      Belajar merupakan suatu proses, yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku (change in behavior or performance). Ini berarti sehabis belajar individu mengalami perubahan dalam perilaku. Perilaku dalam arti yang luas dapat overt behavior atau inert behavior. Karena itu berubahan itu dapat dalam segi kognitif, afektif dan dalam segi psikomotor.
2.      Perubahan perilaku itu dapat aktual, yaitu yang menampak, tetapi juga dapat bersifat potensial, yang tidak menampak pada saat itu, tetapi akan nampak di lain kesempatan.
3.      Perubahan yang disebabkan karena belajar itu bersifat relative permanen, yang berarti perubahan itu akan bertahan dalam waktu yang relatif lama. Tetapi perubahan itu tidak akan menetap terus menerus, sehingga pada suatu waktu hal tersebut dapat berubah lagi sebagai akibat belajar.
4.      Perubahan perilaku, baik yang aktual maupun yang potensial, yang merupakan hasil belajar, merupakan perubahan yang melalui pengalaman atau latihan. Ini berarti  perubahan itu bukan terjadi karena faktor kematangan yang ada pada diri individu, bukan karena faktor kelelahan dan juga bukan factor temporer individu seperti keadaan sakit serta pengaruh obat-obatan.

   B.     Belajar Sebagai Suatu Proses
Dari bermacam-macam definisi yang telah dipaparkan didepan dapat dikemukakan bahwa pada umumnya para ahli melihat belajar itu sebagai proses. Prosesnya sendiri tidak menampak, yang tampak adalah hasil dari proses. Karena belajar merupakan suatu proses, maka dalam belajar adanya masukan, yaitu yang akan diproses dan adanya hasil dari proses tersebut. Apabila hal ini digambarkan, maka akan didapati skema sebagai berikut.

Masukan                                     proses                                       hasil
(input)                                                                                         (output)

            Dari bagan tersebut dapat dikemukakan belajar merupakam sesuatu yang terjadi dalam diri individu yang disebabkan kaena latihan atau pengalaman, hal ini menimbulkan perubahan dalam perilaku. Ini berarti bahwa proses belajar merupakan intervening variable yang merupakan penghubung atau pengkait antara independent variable dengan dependent variable. Seperti yang digambarkan oleh Hergenhahn dan Olso (1997:3).

Independent                           Intervening                                     Dependent
Variables                               Variables                                        Variables

Experience                                Learning                                       behavioral
                                                                                                    Changes

            Dengan demikian akan jelas bahwa proses belajar itu sendiri terdapat dalam diri individu  yang belajar, yang kemudian menghasilakan perubahan dalam perilakunya.

   C.    Belajar Sebagai Suatu Sistem
            Banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar. Masukan apabila dianalisis lebih lanjut, akan didapati beberapa jenis masukan, yaitu masukan mentah (raw input), masukan insrtumen (instrumental input) dan masukan lingkungan (environmental input). Semua ini berinteraksi dalam proses belajar, yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil belajar. Apabila alah satu factor terganggu, maka proses akan terganggu dan hasil juga akan terganggu. Masing-masing faktor tersebut saling kait-mengkait satu dengan yag lain, karenanya belajar itu merupakan suatu sistem. Apabila masukan instrumental terganggu, maka proses akan terganggu, hasil akan terganggu. Apabila hal tersebut digambarkan, maka akan terdapat gambar atau skema sebagai berikut.

                                                  Masukan intstrumental

 
Masukan mentah                                                                                  hasil


 


                                                    Masukan lingkungan

            Masukan mentah adalah individu atau orgenisme yang akan belajar. Misalnya, siswa, mahasiswa atau anak yang akan belajar. Masukan instrumental adalah masukan yang berkaitan dengan alat-alat atau intrumen yang digunakan dalam proses belajar. Misalnya, rumah, kamar, gedung, peraturan-peraturan. Peraturan merupakan masukan instrument yang lunak, sedangkan kamar, rumah gedung merupakan masukan instrument yang keras. Masukan lingkungan fisik maupun non-fisik. Misalnya, tempat belajar yang gaduh atau ramai merupakan hal yang kurang menguntungkan untuk proses belajar.
            Dalam masalah belajar apda umumnya yang menjadi persolan ialah bertitik tolak dari hasil belajar. Apabila hasil belajar baik, maka pada umumnya tidak akan menimbulkan masalah. Tetapi sebaliknya apaila hasil tidak memuaskan, persoalan akan segera timbul. Karena itu dalam belajar, pada umumnya orang akan melihat terlebih dahulu atau sebagai titik tolaknya hasil belajar. Setelah hasil belajar, orang akan melihat bagaimana prosesnya dan kemudian bagaimana masukannya.

   D.    Teori-Teori Belajar
            Secara prakmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlaah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni: connectionism, classical conditioning dan operant conditioning.
Teori-teori tersebut merupakan ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti contigious conditioning(Guthri), sign learning (Tolman), gestalt theory dan lain sebagainya.
1.      KONEKSIONISME
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang di temukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar di tempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memeroleh makanan yang tersedia didepan sangkar tadi.
 Keadaan dalam bagian sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan, mengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang di kehendaki. [2]

2.      PEMBIASAAN KLASIK
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973).
Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata di pakai untuk menghargai karya Pavlov yang di anggap paling dahulu di bidang conditioning lainnya (Gleitman, 1986) selanjutnya, mungkin karna fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat di sebut respondent conditioning (pembiasaan yang di tuntut).
Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned-response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang di pelajari, sedangkan respon yang di pelajari itu sendiri disebut conditioned response (CR). Adapun unconditioned-response (UCS) berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak di pelajari, dan respons itu di sebut unconditioned response (UCR).
Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjer air liurnya di beri alat penampung cairan yang di hubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu di ketahui bahwa sebelum di latih (dikenai eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relefan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging. Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan. Apa yang terjadi, ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga, meskipun hanya mendengar suara bel. Jadi akan menghasilkan conditioned response apabila (CS) telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.

3.      PEMBIASAAN PERILAKU RESPONS
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang di anggap kontraversial.
Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang di tempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok yakni: manipulandum dan alat pemberi reintforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reintforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit.[3]
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted behavior”(tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa mempedulikan stimulus tertentu. Kemudian pada giliranya ,secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cataran kaki depan atau sentuhann moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan kedalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit, penekan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan rienforcement, yakni penguatan rupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner dan Plavlov diatas secara prinsipal behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya prilaku jasmaniah yang nyata dan dapat di hukum.teori-teori itu juga bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologi kognitif, karakteristik belajar yang terdapat teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar akhir pendidikan kita itu, sesungguhnya banyak kelemahan .

4.      TEORI PENDEKATAN KOGNITIF
Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan. Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankanarti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti : motivasi, kesengajaan, keyakinan, dsb.
Dalam perspektif  psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampil setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan  menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebuh penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Sehubungan dengan hal ini, Piaget, seorang pakar psikologi terkemuka, menyimpulkan:... Children have a built-in desire to learn (barlow, 1985), bahwa anak-anak memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar. 

   E.     Unsur-Unsur Belajar
Cronbach, mengemukakan adanya tujuh unsur utama dalam proses belajar yaitu:[4]
1)      Tujuan.
2)      Kesiapan.
3)      Situasi.
4)      Interpretasi.
5)      Respons.
6)      Konsekuensi.
7)      Reaksi terhadap kegagalan.


 
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
DR. Muhibbin Syah M.ED, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Prof. Dr. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Andi Offset, 1980.





[1] Prof. Dr. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offset, 1980), Hal 166.
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal 103.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal 107
[4] Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hal 157.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar